Bukan Konflik Antar Agama Melainkan Saling Berkompetisi
Hubungan antar pemeluk agama di Indonesia, bukan konflik melainkan
saling kompetisi, dan bahkan pada batas-batas tertentu juga melakukan
saling bekerjasama. Penjelasan ini saya anggap penting agar tidak
terjadi saling curiga, khawatir, dan bahkan ketakutan yang
berlebih-lebihan hanya oleh karena perbedaan itu.
Tanpa menutup mata, memang sesekali
terdengar isu negatif terkait hubungan antar pemeluk agama, tetapi
sebenarnya tidak terlalu serius. Kadangkala hal kecil dibesar-besarkan
oleh karena hanya rasa takut. Perbedaan agama tidak dijadikan alasan
untuk saling bermusuhan atau sesuatu yang membahayakan. Perbedaan itu
sebagai hasil pewarisan masa lalu. Seseorang menjadi muslim oleh karena
berasal dari keturunan keluarga muslim. Demikian pula penganut Kristen,
Katholik, Hindu, Budha, dan lainnya.
Manakala
ada seseorang berpindah agama, selalu melewati proses panjang, dan
bukan atas dasar pemaksaan. Pemaksaan agama di Indonesia tidak pernah
terjadi, dan bahkan ajaran agama itu sendiri tidak membenarkannya. Tidak
ada seorang nasrani mendatangi rumah-rumah orang Islam untuk mengajak
secara paksa masuk agamanya. Begitu pula penganut agama Islam tidak
akan mendatangi rumah-rumah penganut Hindu, Budha, Katholik, kong Hu Cu
dan lainnya untuk diajak masuk ke agamanya.
Kenyataan
sebagaimana digambarkan tersebut, menjadikan konflik antar agama tidak
pernah terjadi. Seseorang masuk menjadi muslim, pada awalnya adalah
oleh karena tertarik dengan kehidupan masyarakat Islam yang peduli
kepada anak yatim; melihat anak-anak keluarga muslim bersikap tawadhu’
kepada orang tuanya; hubungan kekeluargaan yang akrab, tertarik dengan
pendidikannya; tidak membeda-bedakan latar belakang, termasuk agama yang
dipeluk, dalam menolong orang; dan seterusnya.
Berbeda
dalam beragama dianggap sebagai hal wajar, namun di antara mereka juga
saling berkompetisi. Mereka saling berebut keunggulan, misalnya dalam
berpolitik, ekonomi, pendidikan, maupun juga terkait simbul-simbul
keagamaannya. Dalam berpolitik, mereka berusaha agar tokoh agamanya
menduduki jabatan-jabatan politik, misalnya menjadi kepala desa, camat,
bupati, walikota, gubernur hingga menteri, dan bahkan juga di parlemen.
Kompetisi
juga kelihatan dalam mendirikan rumah ibadah. Tatkala penganut agama
Nasrani mendirikan gereja, maka penganhut Islam, sepanjang memungkinkan
segera mendirikan masjid yang letaknya tidak jauh dari bangunan gereja
itu. Dan begitu pula sebaliknya. Hal demikian itu sebenarnya tidak saja
dilakukan oleh antar penganut agama yang berbeda, tetapi juga antar
intern umat beragama. Tatkala warga Muhammadiyah mendirikan masjid di
suatu tempat, maka sebisa-bisa, warga NU juga segera mendirikan. Begitu
pula yang terjadi terkait dengan lembaga pendidikannya.
Kita
melihat di Jawa Timur misalnya, setiap kota selalu terdapat lembaga
pendidikan tinggi NU dan sekaligus juga lembaga pendidikan tinggi
Muhammadiyah. Di antara mereka itu tidak bermusuhan atau konflik,
melainkan berkompetisi. Warga NU mendirikan perguruan tinggi
sebagaimana Muhammadiyah mendirikannya, dan atau sebaliknya. Usaha-usaha
itu dimaksudkan agar generasi penerusnya tetap berpegang teguh pada
keyakinan organisasinya. Keuntungannya, dengan kompetisi itu menjadikan
masing-masing penganut agama dan juga organisasi keagamaan semakin
hidup, dinamis, dan bahkan berkembang.
Bahkan, pada
batas-batas tertentu, antar pemeluk agama yang berbeda juga saling
bekerjasama. Di daerah-daerah tertentu, hingga tatkala membangun tempat
ibadah sekalipun dilakukan secara bersama-sama. Penganut Kristen
bersedia membantu kaum muslimin membangun masjid, dan begitu pula
sebaliknya. Kaum muslimin di suatu daerah, ikut membantu pembangunan
gereja. Peristiwa itu kedengarannya aneh, tetapi di suatu daerah
tertentu, itulah yang terjadi. Saya juga pernah mendengar penjelasan
seorang kyai, bahwa masjid di pesantrennya yang berukuran sangat besar,
ternyata dibangun oleh seseorang yang beragama Budha.
Contoh
lain, terdapat perguruan tinggi Islam di suatu daerah, ternyata
sebagian besar mahasiswanya adalah beragama Kristen. Mereka belajar di
kampus itu, bukan saja sebatas tentang ilmu-ilmu umum, tetapi juga
tentang ke-Islaman. Mahasiswa non muslim tidak menolak pelajaran agama
Islam yang diberikan oleh perguruan tinggi Islam dimaksud. Hal lainnya
yang juga saya rasakan aneh, ketika saya menjadi Rektor UIN Malang,
terdapat seorang penganut agama Budha memberi beasiswa kepada belasan
mahasiswa penghafal al Qur’an. Penganut Budha dimaksud mengaku kagum
atas kemampuan dan prestasi itu.
Akhirnya dapat dipahami
bahwa, antar pemeluk agama di Indonesia bukan saling konflik, tetapi
justru ada tenggang rasa, saling menjaga, menghormati, sekalipun pada
kenyataannya juga saling berkompetisi. Perilaku yang demikian itu
dibangun sebagai upaya untuk menciptakan kedamaian bersama. Suasana yang
demikian itu, umpama oleh para tokoh atau para elitenya dijadikan
modal untuk saling meningkatkan kualitas keberagamaan masing-masing
umatnya, maka agama akan menjadi semakin besar makna dan sumbanganya
terhadap pembangunan bangsa ini. Wallahu a’lam.
0 Response to "Bukan Konflik Antar Agama Melainkan Saling Berkompetisi"
Post a Comment