Fenomena Salah Paham
Banyak orang merasa telah mengerti tentang berbagai hal. Pada
hal sebenarnya, yang bersangkutan itu belum terlalu mengerti . Bahkan
jangankan terhadap apa saja yang berada di luar, terhadap dirinya
sendiri saja seringkali juga salah. Kenyataan yang demikian itu, di
kalangan kaum muslimin menjadi sangat populer sehingga muncul
kategori tentang kebanyakan orang yang sangat populer pula. Disebutkan bahwa semua orang bisa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pertama, orang yang tahu bahwa dirinya tahu; kedua, orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu; dan ketiga adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.
Pembagian tersebut mungkin yang masih perlu dikritisi adalah justru yang pertama dan ketiga. Orang yang merasa tahu bahwa dirinya tahu sebenarnya masih harus diuji terlebih dahu. Apakah pengetahuannya itu benar-benar tepat atau tidak. Sebab belum tentu, seseorang yang merasa tahu, sebenarnya ia benar-benar tahu. Bisa saja bahwa pengetahuannya itu keliru, atau ia sebenarnya adalah salah paham, pengetahuannya masih salah, atau kurang tepat, sehingga mereka disebut sebagai orang yang sedang mengalami salah paham.
Kelopok yang ketiga, yaitu orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang seperti ini sebanarnya adalah sangat berbahaya. Tatkala mereka menerangkan sesuatu, menganggapnya bahwa dirinya benar, padahal apa yang diterangkan justru sebaliknya, keliru semua. Orang seperti ini akan menjadi semakin berbahaya manakala kebetulan, mereka itu menjadi pemimpin atau pejabat pemerintah. Atas dasar kekuasaannya, yang bersangkutan membuat keputusan salah, tetapi tidak mengetahui bahwa dirinya salah. Kerugian sebagai akibat dari pejabat seperti itu luar biasa besarnya.
Gejala salah paham bisa dialami oleh semua orang, baik orang yang berpendidikan tinggi, menengah hingga orang yang pendidikannya tidak seberapa. Juga bisa dialami oleh rakyat jelata, kelas menengah, atau juga para elite penguasa negara, dan bahkan tidak terkecuali adalah oleh para agamawan sekalipun. Salah paham yang dialami oleh orang yang tidak berpendidikan, atau tidak memiliki posisi penting atau juga tidak berjabatan tinggi, tentu tidak sedemikian besar. Sebaliknya, akan beresiko amat tinggi dan berjangkauan luas jika hal itu dialami oleh seorang tokoh atau pejabat tinggi. Keputusan salah yang diambil oleh seorang pejabat tinggi, pasti resikonya amat besar dan luas terhadap berbagai hal.
Bayangkan saja misalnya, seorang menteri pendidikan, keputusan yang diambilnya keliru, maka kerugiannya akan diderita oleh generasi ke generasi. Kerugian itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mengimplementasikan kebijakannya itu. Seorang menteri pertahanan, manakala keputusan yang diambilnya salah, maka bisa berakibat terjadi peperangan yang akan menelan korban orang yang jumlahnya tidak terperkirakan. Kedua hal tersebut itu sekedar contoh, untuk menggambarkan betapa besar bahaya seorang pemimpin yang salah dalam memahami sesuatu.
Kesalahan-pahaman juga bisa dialami oleh antar para pemuka agama yang berbeda. Para pemuka agama pasti memiliki pengikut. Biasanya para pengikut agama terhadap para elitenya sangat sulit bersikap obyektif dan kritis. Apa saja yang disampaikan oleh pemimpinnya akan diterima atau dianggap sebagai sesuatu yang pasti benar. Permusuhan antar agama yang selalu berdampak besar, biasanya berawal dari kesalah-pahaman dari para tokohnya. Anehnya, gejala salah paham oleh banyak kalangan, seringkali dianggap sederhana, padahal dampak atau akibatnya sedemikian besar.
Fenomena salah paham, ternyata tidak saja terhadap orang lain, tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Demikian pula, tidak mudah setiap orang mengenal sesuatu, tidak terkecuali adalah mengenal dirinya sendiri. Akibatnya, banyak orang, atau bahkan semua orang, sering mengalami salah paham tidak saja terhadap orang lain, tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Mereka merasa dirinya hebat, dikenal banyak orang, memiliki kesanggupan menjadi pemimpin misalnya, ternyata anggapannya itu keliru. Setelah benar-benar menjadi pemimpin, yang bersangkutan tidak bisa berbuat apa-apa. Kepemimpinannya gagal. Kasus tentang ini, jumlahnya cukup banyak, baik dialami oleh pemimpin birokrasi, politik, organisasi massa, bahkan juga pemimpin kampus. Kegagalannya itu disebabkan oleh salah paham itu, dan lebih celaka lagi, kesalah-pahaman itu ternyata terhadap dirinya sendiri.
Oleh karena gejala salah paham itu adalah bersifat umum dan manusiawi, maka hingga diperingatkan oleh Allah melalui kitab suci al Qur’an. Setiap muslim, sehari semalam, di dalam shalat lima waktu diwajibkan untuk membaca ayat ihdinashiraathal mustaqiem atau tunjukkanlah kami ya Allah ke jalan yang lurus, sebanyak minimal 17 kali. Selain itu, masih di dalam al Qur’an pula, juga diperingatkan agar antar sesame selalu berwasiat atas kebenaran dan kesabaran. Hal demikian itu, supaya manusia selalu berada pada garis atau petunjuk Allah swt., dan tidak selalu berada pada posisi salah paham, termasuk terhadap dirinya sendiri. Salah paham terhadap diri sendiri juga akan mengakibatkan perilaku takabbur atau kesombongan, yakni sifat yang amat dibeci oleh Allah. Wallahu a’lam
(Catatan Prof. Imam Suprayogo
Pembagian tersebut mungkin yang masih perlu dikritisi adalah justru yang pertama dan ketiga. Orang yang merasa tahu bahwa dirinya tahu sebenarnya masih harus diuji terlebih dahu. Apakah pengetahuannya itu benar-benar tepat atau tidak. Sebab belum tentu, seseorang yang merasa tahu, sebenarnya ia benar-benar tahu. Bisa saja bahwa pengetahuannya itu keliru, atau ia sebenarnya adalah salah paham, pengetahuannya masih salah, atau kurang tepat, sehingga mereka disebut sebagai orang yang sedang mengalami salah paham.
Kelopok yang ketiga, yaitu orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang seperti ini sebanarnya adalah sangat berbahaya. Tatkala mereka menerangkan sesuatu, menganggapnya bahwa dirinya benar, padahal apa yang diterangkan justru sebaliknya, keliru semua. Orang seperti ini akan menjadi semakin berbahaya manakala kebetulan, mereka itu menjadi pemimpin atau pejabat pemerintah. Atas dasar kekuasaannya, yang bersangkutan membuat keputusan salah, tetapi tidak mengetahui bahwa dirinya salah. Kerugian sebagai akibat dari pejabat seperti itu luar biasa besarnya.
Gejala salah paham bisa dialami oleh semua orang, baik orang yang berpendidikan tinggi, menengah hingga orang yang pendidikannya tidak seberapa. Juga bisa dialami oleh rakyat jelata, kelas menengah, atau juga para elite penguasa negara, dan bahkan tidak terkecuali adalah oleh para agamawan sekalipun. Salah paham yang dialami oleh orang yang tidak berpendidikan, atau tidak memiliki posisi penting atau juga tidak berjabatan tinggi, tentu tidak sedemikian besar. Sebaliknya, akan beresiko amat tinggi dan berjangkauan luas jika hal itu dialami oleh seorang tokoh atau pejabat tinggi. Keputusan salah yang diambil oleh seorang pejabat tinggi, pasti resikonya amat besar dan luas terhadap berbagai hal.
Bayangkan saja misalnya, seorang menteri pendidikan, keputusan yang diambilnya keliru, maka kerugiannya akan diderita oleh generasi ke generasi. Kerugian itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mengimplementasikan kebijakannya itu. Seorang menteri pertahanan, manakala keputusan yang diambilnya salah, maka bisa berakibat terjadi peperangan yang akan menelan korban orang yang jumlahnya tidak terperkirakan. Kedua hal tersebut itu sekedar contoh, untuk menggambarkan betapa besar bahaya seorang pemimpin yang salah dalam memahami sesuatu.
Kesalahan-pahaman juga bisa dialami oleh antar para pemuka agama yang berbeda. Para pemuka agama pasti memiliki pengikut. Biasanya para pengikut agama terhadap para elitenya sangat sulit bersikap obyektif dan kritis. Apa saja yang disampaikan oleh pemimpinnya akan diterima atau dianggap sebagai sesuatu yang pasti benar. Permusuhan antar agama yang selalu berdampak besar, biasanya berawal dari kesalah-pahaman dari para tokohnya. Anehnya, gejala salah paham oleh banyak kalangan, seringkali dianggap sederhana, padahal dampak atau akibatnya sedemikian besar.
Fenomena salah paham, ternyata tidak saja terhadap orang lain, tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Demikian pula, tidak mudah setiap orang mengenal sesuatu, tidak terkecuali adalah mengenal dirinya sendiri. Akibatnya, banyak orang, atau bahkan semua orang, sering mengalami salah paham tidak saja terhadap orang lain, tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Mereka merasa dirinya hebat, dikenal banyak orang, memiliki kesanggupan menjadi pemimpin misalnya, ternyata anggapannya itu keliru. Setelah benar-benar menjadi pemimpin, yang bersangkutan tidak bisa berbuat apa-apa. Kepemimpinannya gagal. Kasus tentang ini, jumlahnya cukup banyak, baik dialami oleh pemimpin birokrasi, politik, organisasi massa, bahkan juga pemimpin kampus. Kegagalannya itu disebabkan oleh salah paham itu, dan lebih celaka lagi, kesalah-pahaman itu ternyata terhadap dirinya sendiri.
Oleh karena gejala salah paham itu adalah bersifat umum dan manusiawi, maka hingga diperingatkan oleh Allah melalui kitab suci al Qur’an. Setiap muslim, sehari semalam, di dalam shalat lima waktu diwajibkan untuk membaca ayat ihdinashiraathal mustaqiem atau tunjukkanlah kami ya Allah ke jalan yang lurus, sebanyak minimal 17 kali. Selain itu, masih di dalam al Qur’an pula, juga diperingatkan agar antar sesame selalu berwasiat atas kebenaran dan kesabaran. Hal demikian itu, supaya manusia selalu berada pada garis atau petunjuk Allah swt., dan tidak selalu berada pada posisi salah paham, termasuk terhadap dirinya sendiri. Salah paham terhadap diri sendiri juga akan mengakibatkan perilaku takabbur atau kesombongan, yakni sifat yang amat dibeci oleh Allah. Wallahu a’lam
(Catatan Prof. Imam Suprayogo
0 Response to "Fenomena Salah Paham"
Post a Comment