Pemimpin Itu Bagaikan Pengasuh, Berat Dan Penuh Resiko.
Beberapa hari yang lalu, saya bersillaturrakhiem ke rumah seorang
kyai. Kedatangan saya tidak diundang. Sengaja saya datang, benar-benar
hanya untuk bersillaturrakhiem saja. Menjadi kesukaan saya, jika ada
waktu luang, selalu saya manfaatkan untuk datang ke rumah kyai atau
pemuka agama. Berbincang-bincang secara tulus, saya rasakan mendapatkan
sesuatu yang sangat berharga bagi kehidupan ini.
Datang
bersillaturrakhiem ke pondok pesantren, menemui kyai, bukan hal sulit.
Kapan saja, sekalipun tidak janjian sebelumnya, asalkan tidak ada
kegiatan yang telah dijadwal sebelumnya, selalu diterima. Kebiasaan
seperti itu, sudah lama saya alami, bahkan sejak kecil sewaktu masih
hidup di desa. Ayah saya, setiap bepergian jauh, dan mengajak serta
saya, selalu singgah dari satu pesantren ke pesantren berikutnya. Saling
bersillaturrakhiem rupanya menjadi tradisi para kyai.
Sebagaimana
biasa, kyai yang saya datangi beberapa hari yang lalu, mengajak
berbincang tentang pesantren, pendidikan, dan lain-lain. Ada hal yang
saya rasakan amat menarik dalam perbincangan itu. Di antaranya adalah
tentang kepemimpinan. Dikatakan oleh kyai bahwa kepemimpinan itu adalah
amanah. Anehnya, banyak orang mengejar dan bahkan berebut amanah.
Padahal, berbagai jenis makhluk lain, oleh karena beratnya itu, tidak
ada yang sanggup menerima. Hanya manusia saja yang justru berebut
amanah. Itulah manusia, dalam hal-hal tertentu disebut sebagai makhluk
yang tidak pintar alias bodoh.
Amanah berupa kepemimpinan,
menurut pandangan kyai, dan apalagi jika dimaknai secara benar, yakni
bagaikan mengasuh anak kecil, maka pekerjaan itu adalah sangat berat.
Tugas pemimpin yang sebenarnya, oleh kyai dimaksud, diumpamakan sebagai
orang yang sedang menggendong anak kecil. Pekerjaan itu tentu berat dan
beresiko. Mereka sudah menggendong, tetapi kadang anak yang digendong
juga tidak memahami posisinya. Sekalipun sudah digendong, tetapi
terkadang mereka masih ribut, menangis, dan bahkan juga menyakiti orang
yang sedang menggendongnya.
Dikatakan oleh kyai,
masyarakat yang dipimpin itu, kadang juga seperti anak kecil yang sedang
digendong itu. Mereka belum tentu bisa bersyukur atau berterima kasih.
Bahkan, jangankan berterima kasih, mereka terkadang, juga berkecing di
gendongan. Tetapi, betapapun beratnya tugas itu, pengasuh tidak boleh
merasa jengkel, sakit hati, dendam, dan apalagi membalas sebagaimana
yang dilakukan oleh anak asuhannya itu. Sebagai pengasuh, pemimpin harus
sabar dan ikhlas. Tokh anak asuhannya itu, jika kelak tumbuh dewasa,
dalam arti kepemimpinannya dirasakan memuaskan, maka mereka akan sadar
dan menjadi semakin baik.
Kyai secara berulang-ulang
mempertegas bahwa, melakukan peran kepemimpinan itu memang berat. Bahkan
kadangkala, tatkala harus mengamankan semuanya, seorang pemimpin harus
juga melakukan peran bagaikan pesilat atau bahkan sebagai bola lampu
listrik. Sebagai pesilat, ia terkadang juga beresiko jatuh, terkena
tendangan musuh. Sedangkan bagaikan bola lampu, ia juga menderita panas
terus menerus. Tapi tatkala sedang jatuh terkena tendangan atau sebagai
bola lampu selalu merasa panas, maka semua itu harus diterima, oleh
karena hal itu adalah bagian dari resiko sebagai seorang pemimpin.
Mereka harus mau mengorbankan diri, demi mereka yang dipimpinnya.
Ukuran
keberhasilan bagi seorang pemimpin adalah sejauh mana yang bersangkutan
mampu menjadikan mereka yang dipimpinnya semakin maju, berkembang, dan
meraih prestasi. Hal demikian itu, sebenarnya persis peran sebagai
pengasuh anak. Mereka disebut sukses manakala anak asuhannya tumbuh dan
berkembang menjadi semakin dewasa, dan akhirnya mereka mampu melakukan
peran-peran yang seharusnya. Itulah peran seorang pemimpin, memikul
amanah yang berat dan penuh resiko. Bagi yang tidak mau menanggung itu
semua, maka janganlah bercita-cita menjadi pemimpin, apalagi pemimpin
umat yang semua itu hanya untuk kebaikan semata.
Namun
sebenarnya, pemimpin yang cerdas, juga bagaikan pengasuh yang
berpengalaman dan cerdas pula. Tatkala ia berhasil mengambil hati atau
menggembirakan anak asuhannya, maka tugasnya menjadi ringan. Sebagai
gambaran, ketika anak asuhnya sudah berhasil mau dan mampu bermain-main
sendiri, maka tugas pemimpin atau pengasuh menjadi sangat ringan. Dalam
suasana seperti itu, pengasuh hanya tinggal sekedar menunggui anak
asuhnya. Tetapi sebaliknya, jika pemimpin itu melakukan kesalahan fatal
atau salah mengasuh, maka tugasnya menjadi sangat berat. Sudah
menggendongnya, tetapi ia masih harus disakiti dan bahkan dikencingi
segala. Maka jadilah pemimpin atau pengasuh yang cerdas dan bahkan juga
cerdik. Wallahu a’lam
0 Response to "Pemimpin Itu Bagaikan Pengasuh, Berat Dan Penuh Resiko."
Post a Comment