Kebersamaan Dalam Mengimplementasikan Nilai-Nilai Islam
Siapa saja yang membaca sejarah Islam, terutama sejarah pada masa
kehidupan Rasulullah dan selanjutnya pada masa shahabat, Islam terasa
sedemikian indah. Keindahan itu tidak saja tergambarkan dalam bentuk
tulisan, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa itu,
agama yang dibawa oleh Muhammad saw., bisa dilihat dan dirasakan, baik
di tempat-tempat ibadah dan juga di semua lapangan kehidupan,
misalnya di rumah tangga, di pasar, di ladang, dan diberbagai kegiatan
sosial lainnya.
Betapa para sahabat berusaha menjaga
keindahan ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw. itu hingga mereka
berani menanggung resiko sekalipun hal itu akan dirasakan amat berat.
Dalam sebuah kisah berikut, -------- saya yakin juga pernah didengar
dan atau dibaca oleh pembaca tulisan ini, adalah sebagai contoh,
bagaimana orang-orang menjaga keindahan Islam, sebagaimana yang dialami
oleh oleh Salman al Farisi, seorang sahabat Rasulullah yang amat
terkenal.
Pada suatu ketika, Umar bin Khattab sedang
duduk-duduk di bawah pohon kurma, tidak jauh dari masjid Nabawi.
Sementara itu, di sekitar tempat itu juga terdapat beberapa sahabat
lainnya yang berkumpul bersama, membicarakan sesuatu yang penting.
Tanpa diduga, datanglah tiga orang pemuda dan segera menghampiri Amirul
Mukminin yang sedang duduk di bawah pohon kurma itu. Kedua di antara
pemuda itu, memegang tangan dan mengapit seorang lainnya yang
berpenampilan lusuh.
Segera setelah kedatangannya diterima
oleh Umar bin Khattab, kedua pemuda yang ternyata adalah kakak
beradik, mengadukan bahwa pemuda berpenampilan lusuh yang dibawanya itu
adalah baru saja membunuh ayahnya yang sedang berada di kebunnya.
Keduanya meminta keadilan kepada khalifah, agar pemuda berpenampilan
lusuh dimaksud segera dijatuhi hukuman qishash atas perbuatannya itu.
Mendengar
laporan itu, Amirul Mukminin meminta agar pemuda yang baru saja
membunuh orang tua dimaksud menceritakan kejadian yang sebenarnya,
hingga akhirnya ia tega membunuh orang tua dari kedua pemuda kakak
beradik itu. Maka diceritakanlah, bahwa ia adalah penduduk pedalaman
yang mendapatkan kepercayaan dari umatnya, agar menyelesaikan
muamalahnya di kota ini. Ketika itu, unta tunggangannya diikat di
sebatang pohon, dan kiranya lepas, sehingga merusak tanaman orang tua,
ayah dari kedua pemuda itu.
Tidak terima kebunnya dirusak
oleh unta yang tidak jelas pemiliknya itu, maka tunggangan pemuda
pedalaman dimaksud disembelih oleh orang tua pemilik kebun itu. Melihat
kejadian itu, maka ia marah dan membunuh orang tua dimaksud. Atas
kejadian itu, ia mengaku bersalah dan sanggup menerima hukuman berupa
apapun dari Amirul Mukminin.
Mendengar penuturan permuda
berpenampilan lusuh itu, Umar bin Khatab merasa bimbang, bahwa ternyata
pemuda yang telah membunuh orang tua dimasud sebenarnya adalah orang
baik, jujur, amanah, dan mengatakan apa adanya. Oleh karena itu, Umar
bin khattab menawarkan solusi, yaitu meminta agar kesalahan pemuda itu
dimaafkan dan diyatnya akan dibayar sendiri olehnya. Mendengar tawaran
itu, kedua pemuda menolak, dengan alasan mereka sangat mencintai orang
tuanya itu.
Tanpa merasa berat sedikitpun, pemuda yang
berasal dari pedalaman tersebut mempersilahkan hukuman qishash
dijalankan. Hanya saja, ia mengajukan permintaan agar kiranya bisa
diberi kelonggaran waktu. Sebelum qishash itu dilaksanakan, pemuda itu
meminta waktu tiga hari, pulang terlebih dahulu ke kampungnya untuk
menyelesaikan amanah orang pedalaman yang diberikan kepadanya. Ia
berharap tidak mati sebelum amanah umatnya diselesaikan terlebih
dahulu.
Untuk memenuhi usulan itu, agar orang percaya
bahwa ia benar-benar akan kembali, Khalifah meminta agar pemuda itu
memberikan jaminan, siapapun orangnya, dan jika mungkin adalah
keluarganya sendiri yang berada di kota ini. Pemuda naas yang akan
menjalani qoshash dimaksud mengaku tidak memiliki seorang pun saudara
yang bisa menjadi jaminan. Namun ternyata, di tengah suasana tegang itu,
datanglah Salman al Farisi, seorang sahabat nabi yang amat terkenal.
Ia menyatakan sanggup menjadi jaminannya. Padahal, jika pemuda pedalaman
itu ingkar janji, maka Salman al Farisi lah yang harus menjalani
qishash.
Usulan Salman al Farisi diterima, dan akhirnya
pemuda itu diijinkan meninggalkan tempat itu, pulang ke kampungnya di
pedalaman. Namun apa yang terjadi, genap tiga hari, hingga menjelang
sore, yang seharusnya hukuman mati itu segera dilaksanakan, pemuda yang
membunuh orang tua dimaksud belum datang. Suasana menjadi sangat
tegang, oleh karena Salman al Farisi yang tidak bersalah harus
menanggung beban yang amat berat, yakni harus menjalani qishash, yakni
harus dibunuh.
Suasana menjadi semakin tegang, banyak
orang sangat marah terhadap janji yang diingkari oleh pemuda pedalaman
dimaksud. Hingga waktu pelaksanaan hukuman dilaksanakan, pemuda yang
akan menjalani qishash belum juga kelihatan. Namun, pada detik-detik
terakhir, ternyata pemuda pedalaman yang ditunggu-tunggu ternyata
muncul dari kejauahan, dengan berlari terengah-engah. Ia meminta maaf,
atas keterlambatannya dengan alasan bahwa untanya di perjalanan tidak
kuat lagi berjalan cepat, bahkan hingga ditinggalkan di padang pasir,
lalu pemuda itu lari sebisa-bisanya, hingga hampir-hampir terlambat.
Dalam
suasana suasana yang mengerikan, menjelang dilaksanbakan qishah itu,
Umar bin Khatab masih sempat bertanya kepada pemuda yang dengan susah
payang datang untuk menjalani hukuman mati itu. Umar menanyakan,
mengapa masih mau datang, padahal umpama saja, ia melarikan diri,
sebenarnya tidak akan ada seorang pun yang sanggup mencarinya,
sehingga ia selamat dari human mati . Pertanyaan khalifah itu dijawab
dengan tegas bahwa, jika dirinya tidak datang, maka khawatir, di
kalangan umat Islam disebut sudah tidak ada lagi ksatria, dan orang
yang mampu memenuhi janjinya.
Pertanyaan serupa diajukan
kepada Salman al Farisi, mengapa tanpa ada hubungan kekerabatan dan
lainnya, tetapi ia sanggup menjadi jaminan dengan resikonya
sedemikian berat. Pertanyaan itu segera dijawab oleh Salman al Farisi,
bahwa tanpa kesanggupan itu ia khawatir dikatakan orang, bahwa di
kalangan umat Islam sudah tidak ada lagi orang yang saling bisa percaya
dan mau menanggung beban saudaranya.
Mendengar penuturan
pemuda yang baru saja lari terengah-engah dengan susah payah dan apa
yang disampaikan Salman al Farisi, kedua pemuda itu secara spontan juga
berseru, memaafkan kesalahan pemuda yang akan menjalani qishah
dimaksud. Keduanya memohon kepada Khalifah agar qishash dibatalkan.
Alasannya, kurang lebih sama, yakni jika hal itu tidak dilakukan,
mereka juga khawatir, bahwa di kalangan kaum muslimin, akan disebut
sudah tidak ada lagi orang yang saling menjalin kasih sayang dan mau
memberi maaf. Mendengar pernyataan ketiga belah pihak tersebut, semua
yang hadir menangis, sambil menyebut kalimah : Allahu akbar, Allahu
akbar sekeras-kerasnya.
Umpama saja, apa yang terjadi pada
masa shahabat itu juga masih sedikit saja bisa disaksikan pada zaman
modern sekarang ini, yaitu adanya kebersamaan, tanggung jawab,
kejujuran, keikhlasan, saling percaya dan kasih saying, dan seterusnya,
maka dengan Islam kehidupan ini akan menadi sangat indah. Namun
sayangnya, nilai-nilai Islam yang disebut masih dijunjung tinggi dan
juga sangat dicintai itu, dalam tataran implementatif sudah semakin
sulit dilihat atau ditemukan. Kehidupan sudah diwarnai oleh budaya
individualis, materialis, hedonis, liberal, transaksional, dan
sejenisnya. Keindahan Islam di zaman akhir ini sudah semakin tidak
mudah dicari gambaran kongkritnya. Wallahu a’lam.
0 Response to "Kebersamaan Dalam Mengimplementasikan Nilai-Nilai Islam"
Post a Comment